Ceritanay menyentuh banget makanya aku copas ke blog :)
Dalam
kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia
terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya.
Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat
membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang
mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula
ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah
keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika
makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke
mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———- KEBOHONGAN IBU
YANG PERTAMA
Ketika saya
mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk
pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan,
ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang
memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku
memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang
masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan.
Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan
memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku
sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi
untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya
itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim
dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada
lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek
api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus
kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian
tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari
sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu
aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi
menandakan ujian sudah selesai, Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan
teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu
kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.
Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu
sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Setelah
kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan
ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai
kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah.
Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada
seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku
baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah
melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat
mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA
Setelah aku,
kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang
sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke
pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang
untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima
uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya punya
duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM
Setelah lulus
dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master
di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah
perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang
lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika.
Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata
kepadaku “Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH
Setelah
memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kankangat tua, menatap aku
dengan penuh kerer lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh
di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta.
Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi.
Ibu yang keliatan sinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan
agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit
itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku
sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali
melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
“Jangan menangis anakku, aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG
KEDELAPAN.
Setelah
mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk
yang terakhir kalinya.
Dari cerita di atas,
saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali
mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa
lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak
menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah
aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk
meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu
yang ada di rumah.Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli
dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas
apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping
kita. Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas
apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau
belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi. Di waktu
kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang
terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.